Oleh :
Constantinus
Saya agak terkejut ketika minggu lalu menerima pesan Whatsapp dari seorang
kenalan saya.
"Saya diberi tugas oleh manajer saya untuk melatih karyawan bagian
kasir dan customer service supaya mereka bisa beladiri, Pak," demikian
bunyi pesan itu.
Saya agak terkejut karena yang harus dilatih oleh kenalan saya itu adalah
karyawan yang tugasnya boleh dikatakan bukan di bagian pengamanan (bukan
sebagai satuan pengamanan / Satpam). Sebab, biasanya Satpam-lah hang dilatih
untuk beladiri sebagai salah satu syarat kompetensi untuk bekerja.
"Tapi 'kan istrimu juga melatih beladiri kepada karyawan di tempat
kamu bekerja," komentar Slontrot, teman saya minum teh sore itu. Slontrot
memang sedang minum teh bersama saya, ketika saya menerima pesan WA dari
kenalan saya di atas. "Padahal, 'kan yang dilatih istri kamu itu juga
karyawan yang bekerja bukan di bagian Satpam. Terus, itu untuk apa ?"
Saya menyeruput teh hangat saya, kemudian menjawab pertanyaan Slontrot.
"Memang benar, yang dilatih karate oleh istri saya juga bukan karyawan
bagian Satpam. Ada yang bekerja di bagian customer service, administrasi,
teknologi informasi atau komputer, dan juga sumberdaya manusia," kata
saya. "Saya agak terkejut karena di perusahaan lain juga ternyata
melakukan hal saya sama".
Sebagai seorang praktisi karate sekaligus ilmuwan psikologi dan juga
praktisi manajemen sumberdaya manusia, saya sering ditanya tentang alasan
perusahaan memberikan pelatihan beladiri kepada karyawan yang bukan bekerja di
bagian Satuan Pengamanan (Satpam).
"Itu karena perusahaan harus menjaga stabilitas operasionalnya, juga
supaya tetap efisien," jawab saya.
"Penjelasannya bagaiman ?" tanya Slontrot.
"Kalau suatu ketika ada gangguan keamanan di perusahaan, karena ada
penjahat yang datang untuk melakukan perbuatan kriminal, maka karyawan non
Satpam yang bisa beladiri dapat melarikan diri untuk mencari dan mendapatkan
bantuan. Dengan demikian penjahat tidak jadi berlama-lama melakukan aksi
kejahatan, atau bahkan tidak jadi melakukan kejahatan, karena takut dikeroyok
massa yang datang setelah mendengar teriakan si karyawan tersebut".
"Lho, bukannya karyawan itu harus melawan penjahat untuk
mempertahankan aset perusahaan ?" tanya Slontrot.
"Tidak. Itu konyol dan membahayakan keselamatan nyawanya" jawab
saya. "Dia 'kan bukan karyawan bagian Satpam".
"Oh, begitu pola pikirnya," kata Slontrot. "Jadi, untuk
meloloskan diri guna mendapatkan bantuan itu perlu beladiri, ya ?"
"Benar," kata saya. "Tidak mungkin penjahat mengizinkan
karyawan untuk minta bantuan. Itu tidak masuk akal".
Slontrot mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Masih ada lagi, lho," kata saya.
Slontrot memandang saya.
"Supaya kalau suatu ketika terjadi peristiwa yang tidak diinginkan di
luar jam kerja, misalnya ketika sedang jalan-jalan ada penjahat yang meminta
paksa handphone karyawan, maka karyawan yang bisa beladiri akan memberikan
handphone-nya, bukan mempertahankannya," kata saya.
Slontrot melotot.
"Lho, apa gunanya bisa beladiri, kalau tidak bisa mempertahankan
handphone ?" tanya Slontrot.
"Karena handphone adalah jauh lebih murah daripada nyawa," jawab
saya. "Jangan sampai nyawa melayang sia-sia karena sebuah handphone".
"Terus, apa gunanya beladiri kalau begitu ?" tanya Slontrot.
"Supaya kalau penjahat itu ternyata mengancam nyawa padahal handphone
sudah diberikan, penjahat itu bisa dilumpuhkan," kata saya.
"Lha kenapa harus menunggu penjahat itu mengancam nyawa baru
dilumpuhkan ?" tanya Slontrot.
"Karena ketika melumpuhkan penjahat, bisa saja juga mengalami luka
karena sabetan senjata tajam milik penjahat," kata saya. "Jadi,
memang beladiri baru dipakai kalau terpaksa saja".
Slontrot terlihat semakin tertarik. "Tapi, kaitannya dengan stabilitas
operasional perusahaan dan supaya tetap efisien, saya kok belum paham".
"Perusahaan memfasilitasi karyawan supaya bisa beladiri, supaya
karyawan tidak salah bertindak ketika menghadapi situasi tidak terduga seperti
itu," kata saya. "Sebab, kalau salah langkah, karyawan bisa cedera
atau meninggal dunia. Itu mengganggu operasional perusahaan. Apalagi kalau
sampai meninggal dunia, perusahaan harus mencari karyawan untuk menggantikan
dan memberikan pelatihan lagi. Itu tidak efisien".
---- oOo -----
Penulis adalah ilmuwan psikologi,
kandidat psikolog industri & organisasi,
praktisi manajemen sumberdaya manusia,
komisaris BPR Restu Group,
dan anggota Keluarga Sabuk Hitam INKADO Jawa Tengah