Sabtu, 25 November 2017

"Beladiri Karyawan"



Oleh :
Constantinus


Saya agak terkejut ketika minggu lalu menerima pesan Whatsapp dari seorang kenalan saya.

"Saya diberi tugas oleh manajer saya untuk melatih karyawan bagian kasir dan customer service supaya mereka bisa beladiri, Pak," demikian bunyi pesan itu.

Saya agak terkejut karena yang harus dilatih oleh kenalan saya itu adalah karyawan yang tugasnya boleh dikatakan bukan di bagian pengamanan (bukan sebagai satuan pengamanan / Satpam). Sebab, biasanya Satpam-lah hang dilatih untuk beladiri sebagai salah satu syarat kompetensi untuk bekerja.

"Tapi 'kan istrimu juga melatih beladiri kepada karyawan di tempat kamu bekerja," komentar Slontrot, teman saya minum teh sore itu. Slontrot memang sedang minum teh bersama saya, ketika saya menerima pesan WA dari kenalan saya di atas. "Padahal, 'kan yang dilatih istri kamu itu juga karyawan yang bekerja bukan di bagian Satpam. Terus, itu untuk apa ?"

Saya menyeruput teh hangat saya, kemudian menjawab pertanyaan Slontrot.

"Memang benar, yang dilatih karate oleh istri saya juga bukan karyawan bagian Satpam. Ada yang bekerja di bagian customer service, administrasi, teknologi informasi atau komputer, dan juga sumberdaya manusia," kata saya. "Saya agak terkejut karena di perusahaan lain juga ternyata melakukan hal saya sama".

Sebagai seorang praktisi karate sekaligus ilmuwan psikologi dan juga praktisi manajemen sumberdaya manusia, saya sering ditanya tentang alasan perusahaan memberikan pelatihan beladiri kepada karyawan yang bukan bekerja di bagian Satuan Pengamanan (Satpam). 


"Itu karena perusahaan harus menjaga stabilitas operasionalnya, juga supaya tetap efisien," jawab saya.

"Penjelasannya bagaiman ?" tanya Slontrot.

"Kalau suatu ketika ada gangguan keamanan di perusahaan, karena ada penjahat yang datang untuk melakukan perbuatan kriminal, maka karyawan non Satpam yang bisa beladiri dapat melarikan diri untuk mencari dan mendapatkan bantuan. Dengan demikian penjahat tidak jadi berlama-lama melakukan aksi kejahatan, atau bahkan tidak jadi melakukan kejahatan, karena takut dikeroyok massa yang datang setelah mendengar teriakan si karyawan tersebut".

"Lho, bukannya karyawan itu harus melawan penjahat untuk mempertahankan aset perusahaan ?" tanya Slontrot.

"Tidak. Itu konyol dan membahayakan keselamatan nyawanya" jawab saya. "Dia 'kan bukan karyawan bagian Satpam".

"Oh, begitu pola pikirnya," kata Slontrot. "Jadi, untuk meloloskan diri guna mendapatkan bantuan itu perlu beladiri, ya ?"

"Benar," kata saya. "Tidak mungkin penjahat mengizinkan karyawan untuk minta bantuan. Itu tidak masuk akal".

Slontrot mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Masih ada lagi, lho," kata saya.

Slontrot memandang saya.

"Supaya kalau suatu ketika terjadi peristiwa yang tidak diinginkan di luar jam kerja, misalnya ketika sedang jalan-jalan ada penjahat yang meminta paksa handphone karyawan, maka karyawan yang bisa beladiri akan memberikan handphone-nya, bukan mempertahankannya," kata saya.

Slontrot melotot.

"Lho, apa gunanya bisa beladiri, kalau tidak bisa mempertahankan handphone ?" tanya Slontrot.

"Karena handphone adalah jauh lebih murah daripada nyawa," jawab saya. "Jangan sampai nyawa melayang sia-sia karena sebuah handphone".

"Terus, apa gunanya beladiri kalau begitu ?" tanya Slontrot.

"Supaya kalau penjahat itu ternyata mengancam nyawa padahal handphone sudah diberikan, penjahat itu bisa dilumpuhkan," kata saya.

"Lha kenapa harus menunggu penjahat itu mengancam nyawa baru dilumpuhkan ?" tanya Slontrot.

"Karena ketika melumpuhkan penjahat, bisa saja juga mengalami luka karena sabetan senjata tajam milik penjahat," kata saya. "Jadi, memang beladiri baru dipakai kalau terpaksa saja".

Slontrot terlihat semakin tertarik. "Tapi, kaitannya dengan stabilitas operasional perusahaan dan supaya tetap efisien, saya kok belum paham".

"Perusahaan memfasilitasi karyawan supaya bisa beladiri, supaya karyawan tidak salah bertindak ketika menghadapi situasi tidak terduga seperti itu," kata saya. "Sebab, kalau salah langkah, karyawan bisa cedera atau meninggal dunia. Itu mengganggu operasional perusahaan. Apalagi kalau sampai meninggal dunia, perusahaan harus mencari karyawan untuk menggantikan dan memberikan pelatihan lagi. Itu tidak efisien".


 ---- oOo -----

Penulis: 
Constantinus



Penulis adalah ilmuwan psikologi,
kandidat psikolog industri & organisasi,
praktisi manajemen sumberdaya manusia,
komisaris BPR Restu Group,
dan anggota Keluarga Sabuk Hitam INKADO Jawa Tengah



Tidak ada komentar:

Posting Komentar